JAKARTA (29 November): Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Rico Sia, mendukung penundaan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Menurutnya kebijakan kenaikan PPN itu, sebelum diberlakukan, perlu dievaluasi mendalam untuk memastikan kebijakan tersebut tidak mengganggu momentum pemulihan ekonomi nasional.
“Kebijakan pajak harus dilihat dari dua sisi, (yaitu) kepentingan negara dan kondisi masyarakat. Jika keduanya tidak seimbang, dampaknya bisa kontraproduktif,” ungkap Rico seusai Kunjungan Kerja Banggar DPR di Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Pontianak, Kamis (28/11/2024).
Menurut Legislator NasDem dari Dapil Papua Barat Daya itu, jika dipaksakan, akan membebani masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Saat ini, kondisi ekonomi masyarakat kecil belum sepenuhnya pulih. Jika PPN dinaikkan, mereka akan semakin terpuruk. Ini bukan waktu yang tepat untuk memberlakukan kebijakan tersebut,” ujarnya.
Rico memaparkan, peningkatan nilai PPN akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, sehingga semakin memperberat pengeluaran, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Maka dari itu, ia mendukung penundaan dengan mempertimbangkan kondisi riil di lapangan.
“Menaikkan PPN di tengah situasi ekonomi yang belum stabil hanya akan meningkatkan tekanan pada masyarakat kecil. Sebaiknya, pemerintah fokus dulu pada kebijakan yang mendorong pemulihan ekonomi, seperti mendukung UMKM dan sektor produktif,” tandasnya.
Rico yang sudah dua periode duduk di Senayan, mengakui kebijakan peningkatan penerimaan pajak dibutuhkan untuk menekan defisit anggaran. Untuk itu ia mengusulkan kebijakan tersebut diberlakukan untuk kalangan pengusaha besar, yang memiliki kapasitas besar untuk berkontribusi pada penerimaan negara.
"Ditambah lagi, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menetapkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam lima tahun ke depan. Oleh karenanya, kebijakan perpajakan yang tidak tepat sasaran berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi," terang Rico.
Menurut Rico, kebijakan fiskal harus dirancang untuk mendorong daya beli masyarakat, bukan sebaliknya.
“Perlu diingat, ekonomi nasional sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Jika daya beli turun akibat kenaikan PPN, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat. Kita butuh kebijakan pajak yang lebih strategis dan adil,” tukasnya.
Melihat kenyataan tersebut, Rico menyarankan pemerintah mencari sumber penerimaan pajak yang lain tanpa membebani masyarakat kecil. Salah satunya dengan memperluas basis pajak di sektor informal dan memperketat pengawasan pajak dari kalangan pengusaha besar.
“Ada banyak cara untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa harus membebani rakyat kecil. Pemerintah bisa fokus pada pengusaha besar atau sektor ekonomi yang masih belum terjangkau pajak. Dengan menunda kebijakan ini dan mengalihkan fokus pada kelompok berpenghasilan tinggi, pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal dan kesejahteraan rakyat,” terang Rico.
Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan menegaskan kemungkinan adanya penundaan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan. Luhut mengungkapkan bahwa pemerintah menyiapkan bantalan berupa subsidi terlebih dahulu sebelum menaikkan PPN menjadi 12% sesuai amanat UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. (dpr.go.id/*)