Berita

Kolaborasi, Upaya Membangun Common Good

Willy Aditya

Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI


‘APAKAH gaya hidup manusia itu pada dasarnya memang waras?’ Begitu keraguan yang muncul dari Marvin Harris dalam Cows, Pigs, Wars and Wicthes: The Riddles of Culture. Harris mempertanyakan alasan negara-negara modern berperang meskipun selalu ada saja banyak jawaban yang sangat masuk akal untuk itu. Namun, perang tetaplah perang. Sebuah konflik berkepanjangan yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Ada dampak jangka panjang yang tidak pernah dihitung dan pihak-pihak yang berperang jarang memahami sebab dan akibat sistemis peperangan mereka.

Dalam kasus Indonesia, salah satu perang (konflik) pascakemerdekaan ialah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1950 di Sumatra. Meskipun pemerintah RI sudah memberikan amnesti pada 1961, penanganan ekses-ekses dari peristiwa itu hampir tidak pernah ada.

Setidaknya ada tiga cerita pendek karya AA Navis yang penulis ingat terkait dengan peristiwa tersebut. Yaitu Sang Guru Juki, Perempuan itu Bernama Lara, dan Penumpang Kelas Tiga. Cerita pendek itu menggambarkan betapa ‘rusaknya’ bangunan sosial masyarakat Minangkabau karena PRRI. Masyarakat Minangkabau yang digambarkan Evelyn Blackwood sebagai ‘Kasus Minangkabau selalu mengganggu asumsi-asumsi universalistik atas kedudukan perempuan di dunia’, sama sekali tidak terlihat dalam tiga cerpen itu.

Perempuan yang begitu dimuliakan masyarakat Minangkabau direndahkan sedemikian rupa hingga hanya menjadi ‘ganjal batu’ bagi tentara. Perempuan menjadi korban perang laki-laki. Kerusakan semacam itu digambarkan secara satire oleh AA Navis dari pernyataan seorang Mayor yang membiarkan anak buahnya memerkosa: ‘Apa salahnya bila anak buahku hanya memakai, bukan merampas perempuan itu’. Atau dalam Sang Guru Juki, seorang guru yang ikut berperang: ‘Daripada ditangkap dan dipenjarakan musuh, biarlah ditangkap janda’. Pada akhirnya semua secara permisif beralasan, ‘itulah risiko perang!’

Dalam kehidupan politik modern, perang berubah wujud dan dijadwalkan secara rutin yang menang-kalahnya ditentukan kotak-kotak suara. Laskar-laskar perang mewujud dalam bentuk parpol, para kandidat eksekutif dan legislatif, hingga para netizen yang menjadi simpatisan atau perpanjangan lidah para kandidat.

Menganalogikan pemilu dengan perang di sini, digunakan dalam upaya menumbuhkan gagasan tentang perlu disadarinya aspek ‘sebab dan akibat sistemis’ dari pemilu yang bernuansa perang: sebuah aksi/pertentangan fisik atau nonfisik di antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan unjuk superioritas hingga dominasi.

Pada masa kini, kita dapat merujuk pada dua pemilu terakhir di Tanah Air hingga pemilu di AS era Donald Trump (2017-2021) yang begitu membelah warga. Keterbelahan itu tidak hanya pada saat pemilu berlangsung, tetapi juga pascapemilu, bahkan hingga sekarang ini.

Kerusakan serius terjadi pada bangunan dasar sosial-masyarakat yang sesungguhnya memiliki cita-cita yang sama: memajukan bangsa dan negara. Begitu pula dalam kehidupan politiknya. Yang berlaku kemudian ialah warna demokrasi illiberal: sebuah demokrasi pemilu tetap dilaksanakan, tetapi kebebasan sipilnya sedemikian dikekang.

Menang-kalah dalam setiap kontestasi itu niscaya adanya. Yang tidak niscaya ialah menyertakan ‘segala cara untuk menang’. Segala cara inilah yang sering kali menerabas segala norma dan nilai yang ada. Yang ada dalam alam bawah sadar setiap kelompok ialah spirit perang sebagaimana disebut di atas: dominasi dan unjuk superioritas. Dalam situasi yang sangat terbelah, bahkan pemilih yang menghargai demokrasi pun akan rela terperosok dalam logika dan cara yang tidak sehat demi buah ‘yang penting menang’. Sebuah kenyataan yang menyisakan hilangnya obligasi moral kebangsaan dari setiap aktor politik.  


Kolaborasi: tiga sama

Dalam konteks politik hari ini, semangat kolaborasi menjadi kemendesakan yang harus terus digelorakan guna menjadi kesadaran bersama. Ini mengingat daya rusak dan latennya corak ‘perang’ yang berlaku dalam kontestasi politik dewasa ini.

Sikap itu memang tidak mudah karena harus mengorbankan ego yang hampir pasti ada dalam setiap diri manusia: rasa bangga. Ia ialah sebuah motivasi dan alasan awal yang muncul sebelum pecahnya pertikaian yang bersumber dari pegangan nilai atau paham politiknya. Itulah yang kemudian mengorganisasi perang menjadi perangkat sekaligus norma yang layak untuk terus dilakukan. Sebuah kenyataan yang cukup dekat dengan paradoks memang. Namun, itu bukan berarti bahwa kolaborasi tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana dalam sejarahnya, terdapat code of conduct dalam laku peperangan. Artinya, jika peperangan ialah sebuah keniscayaan, tetap saja ada nilai-nilai yang harus dihormati dan dipegang pihak-pihak yang terlibat. Demikian juga dalam kontestasi politik, kolaborasi bisa menjadi spirit di dalamnya. Spirit yang bisa membimbing setiap kontestan politik untuk tidak hanya berupaya mengurangi jumlah korban pascakontestasi, tetapi juga lebih dari itu, memulihkan, dan mengitegrasikan kembali keterpecahan dan pertentangan yang terjadi saat kontestasi berlangsung.

Kolaborasi di sini bermakna hadirnya kembali kemauan setiap pihak untuk membangun common project yang didasarkan pada tiga sama: mimpi bersama (common dream), bekerja sama (common working), dan belajar bersama (common learning). Kolaborasi, dengan demikian, tidak hanya membawa kehendak jangka pendek sebagai hal yang taktikal, tetapi juga proyek jangka panjang yang ditujukan bagi terbangunnya kehidupan yang berisi berbagai skema dan perangkat kebaikan bersama (common good) dalam kehidupan kebangsaan kita.

Proyek bersama ini pada tahap paling awal ialah mengembalikan kehormatan politik (dignity). Mengutip Bung Hatta, “Politik dalam artinya yang sebenarnya ialah perbuatan yang menimbulkan dalam hal-hal kenegaraan untuk mencapai kesejahteraan negara dan masyarakat, menurut dasar yang diyakini”. Tidak ada lagi kondisi sebagaimana diistilahkan Paul Ricoeur sebagai politics only exist in great moments in ‘crisis’.

Mengembalikan kehormatan politik merupakan proses yang memberi ruang kehendak manusia untuk merealisasikan kapasitasnya dalam kehidupan berkomunitas melalui tindakan pemenuhan keadilan bersama (Yack, 1993, h. 63). Dengan demikian, jelas bahwa tendensi dari politik ialah komunitas dan keadilan. Untuk itu, kompromi terbaik dari tindakan politik ialah kehidupan bersama yang lebih baik. Untuk mendapatkan kesepahaman yang selaras, pola sambung rasa antarelemen menjadi faktor krusialnya. Dalam logika dan tradisi Pancasila, pola itu dimediasi ruang yang bernama ‘dialog’: sebuah proses interaksi simbolis dalam upaya mencapai titik equilibrium tertentu.

Dengan demikian, politik sebagai wahana ‘berbagi dunia dengan yang lain’ harus steril dari kepentingan primordial. Politik menjadi ruang bagi apa yang disebut ‘umum’ atau ‘publik’: entitas yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan atau dalam pandangan negara. Karena itu, sebagai ruang kepentingan umum, politik terletak di atas kepentingan individual (privat) dan primordial (komunal).

Common good akan terganggu jika hal-hal yang bersifat individual dan primordial mengambil alih peran politik. Di sanalah praktik kekuasaan menjadi tidak lagi diperuntukan pada kepentingan hajat hidup bersama. Mobilisasi kepentingan yang dikendalikan nafsu pribadi dan kelompok akan mendorong penggunaan kekuasaan yang melampaui batas sekaligus tidak efektif.

Kolaborasi merupakan cara yang paling mudah untuk melakukan exercise (berlatih) bersama guna mewujudkan common good. Berbagai rupa proyek kebangsaan akan menjadi program berlatih dalam kerangka kolaborasi itu. Ingat, bangsa Indonesia pada dasarnya telah memiliki nilai-nilai dasar sebagai sebuah komunitas. Titik persoalannya ialah nihil atau minornya praktik bersama selama ini sehingga tidak ada value-based pulling community. Dengan berbagai rupa proyek kebangsaan, nilai-nilai dasar bagi bangsa Indonesia menjadi sebuah komunitas yang utuh akan semakin feasible. Dalam kerangka dan kesadaran semacam inilah, beberapa laku politik NasDem dibangun.

Koalisi dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera bukanlah koalisi guna mengusung seorang calon presiden semata. Lebih dari itu, koalisi itu dibangun dalam rangka membangun common project sebagaimana dimaksud di atas. Koalisi yang diarahkan untuk menjadi ruang belajar bersama, wahana kerja bersama guna merumuskan sekaligus meraih cita-cita bersama.  


Penutup

Setiap kontestasi memang akan melahirkan residunya, entah itu polarisasi, perselisihan, atau bahkan kebencian dan konflik. Hal itu tidak bisa dihindari. Namun, pertanyaannya, apakah kita hanya akan menerima, atau malah memelihara dan bahkan terus mengapitalisasinya? Bukankah yang mesti kita lakukan ialah melakukan upaya-upaya reintegrasi dan rekonsiliasi warga sebagai wujud upaya merehabilitasi masyarakat: sebuah entitas sosial yang mewujud atas dasar kerja sama? Membiarkan situasi pascakonflik tanpa adanya upaya rehabilitasi, sama dengan membiarkan bangsa ini terus mengalami dekadensi dan bahkan involusi dalam menjalani sejarahnya. Kolaborasi, dalam semangat dan lakunya, tidak hanya akan menjadi upaya rehabilitasi, tetapi juga membawa bangsa ini terus melangkah maju, mendekatkan diri dengan cita-citanya.[*]

Share: