Berita

Privatisasi Anak Usaha Pertamina Jangan Korbankan Satu Harga BBM

SORONG (29 Juli): Kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga yang ditetapkan Presiden Joko Widodo tahun 2016, besar kemungkinan akan berubah jika Pertamina menjual sejumlah anak perusahaannya kepada swasta. Kepemilikan investor swasta—baik domestik apalagi asing—atas anak perusahaan Pertamina dipastikan mempengaruhi sejumlah kebijakan yang sebelumnya berorientasi kesejahteraan sosial, menjadi berorientasi pencapaian laba sebesar-besarnya.

Anggota DPR RI Fraksi NasDem, Rico Sia mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa motivasi investor swasta membeli saham sebuah perusahaan adalah keuntungan sebesar-besarnya. Motivasi itu bertentangan dengan semangat kebijakan BBM satu harga yang lebih berorientasi kepada kesejahteraan sosial dan keadilan energi.

Menurut anggota Komisi VII DPR RI (bidang energi) itu, saat kunjungan reses, ia banyak sekali menerima keluhan dan kekhawatiran dari tokoh-tokoh masyarakat Papua Barat terkait rencana penjualan sejumlah anak perusahaan Pertamina.

“Mereka sangat cemas, Pertamina tidak lagi berpihak kepada kondisi masyarakat luas, melainkan kepentingan investor swasta. Dan saya berjanji akan menyampaikan hal tersebut ke Komisi VII DPR RI yang membidangi masalah energi,” ujar Rico di Sorong, Papua Barat, Rabu (29/7).

Legislator NasDem asal Papua Barat itu menambahkan, kebijakan BBM satu harga sangat meringankan beban ekonomi jutaan masyarakat di wilayah terluar, terdepan dan tertinggal (3T), terutama Indonesia bagian Timur. Kebijakan itu juga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi setempat.

Sebelum kebijakan BBM satu harga ditetapkan Presiden Joko Widodo, harga BBM jenis Premium dan Solar di wilayah 3T Indonesia mencapai Rp60.000-Rp100.000 per liter, tergantung tingkat kesulitan geografi penyaluran BBM. Harga tersebut sangat memberatkan masyarakat setempat, termasuk para nelayan kecil yang harus mengeluarkan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah setiap hari agar dapat melaut.

Namun sejak 3-4 tahun lalu, masyarakat di wilayah 3T di Indonesia dapat menikmati BBM jenis Premium dengan harga Rp6.450 per liter dan Solar Rp5.150 per liter, sama dengan wilayah lain di Indonesia. Untuk itu, Pertamina mengeluarkan subsidi biaya distribusi sekitar Rp30.000-Rp50.000 per liter.

“Inilah wujud nyata dari pemerataan dan keadilan energi serta pelaksanaan UUD 1945 Pasal 33. Hal seperti ini harus kita pertahankan,” tegas Legislator NasDem tersebut.

Jika anak perusahaan Pertamina diprivatisasi, lanjut Rico, negara tidak lagi menjadi pengambil keputusan tunggal. Sekalipun Pertamina (Persero) masih menjadi pemegang saham mayoritas, kebijakan BBM satu harga sangat mungkin berubah karena desakan investor swasta yang tercatat sebagai pemegang saham.

Rico memberi contoh, Perusahaan Gas Negara sebelum tahun 2003 memiliki tugas mulia menyalurkan gas ke rumah-rumah penduduk di berbagai kota di Indonesia. Saat itu jutaan rakyat Indonesia sangat terbantu dengan penyaluran gas berbiaya murah itu (lebih murah dibanding Gas LPG Subsidi 3 Kg).

Namun sejak PGN diswastanisasi tahun 2003, lambat laun perluasan penyaluran gas ke rumah-rumah penduduk tidak lagi diteruskan. PGN yang 57% sahamnya dipegang Pertamina (Persero) dan 43% ada di tangan perusahaan swasta domestik dan asing, lebih memilih menyalurkan gas ke industri dan usaha komersil.

“Dalam konteks ini, kepentingan rakyat banyak sudah terpinggirkan,” tukas Rico.  

Merujuk UUD 1945 Pasal 33 dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pertamina adalah BUMN yang tidak dapat diprivatisasi. Hal itu karena Pertamina merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Namun UU BUMN Pasal 77 tidak secara tegas mengatur apakah anak perusahaan BUMN yang penting bagi negara tersebut, dapat diprivatisasi atau tidak. Untuk memastikan hal itu, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) melalui Firma Hukum Sihaloho & Co telah mengajukan uji materil Pasal 77 UU BUMN ke Mahkamah Konsitusi pada 15 Juli 2020.

Sebelumnya, pada awal Juni 2020, Menteri BUMN Erick Tohir kembali memilih Nicke Widyawati sebagai Direktur Utama Pertamina. Erick Tohir lalu memberi target kepada Nicke untuk menswastanisasi anak perusahaan Pertamina melalui penjualan saham perdana atau Initial Public Offering (IPO).

Nicke kemudian melakukan restrukturisasi dengan mengeluarkan lima lini bisnis utama (core business) dari struktur organisasi dasar PT Pertamina (Persero). Kelima lini bisnis utama itulah yang kemudian dibentuk menjadi Subholding (anak perusahaan) dan dalam waktu dekat akan diprivatisasi atau denasionalisasi.

Kelima Subholding tersebut adalah PT Pertamina Hulu Energi (Upstream Subholding), PT Perusahaan Gas Negara (Gas Subholding), PT Kilang Pertamina Internasional (Refinery & Petrochemical Subholding), PT Pertamina Power Indonesia (Power & NRE Subholding), dan PT Patra Niaga (Commercial & Trading Subholding).(RO/*)

Share: