Teknologi digital telah mengubah banyak hal. Satu miliar penduduk dunia termasuk mereka yang disabilitas dapat lebih produktif dengan bantuan teknologi komunikasi digital. Begitu pula dengan pemanfaatan data identitas digital di badan publik dan swasta, telah membuka akses 2,4 miliar penduduk dunia terhadap hak-hak kependudukannya.
Tahun 2016, Bank Dunia merilis publikasi laporan pengukuran indeks adopsi digital (DAI) negara-negara di dunia. Bank Dunia memberi skor rata-rata DAI Indonesia dari sektor bisnis, pemerintahan, dan individual, sebesar 0,45 poin. Angka tersebut jauh di bawah Singapura (0,87), Malaysia (0,69), Brunai Darussalam (0,62), Thailand (0,55), dan bahkan Vietnam (0,46). Indonesia sedikit lebih baik dari Filipina (0,43). Angka tersebut menunjukkan seberapa besar pemerintah, penduduk, dan bisnis, memanfaatkan perkembangan teknologi digital dalam kehidupannya.
Yang paling tinggi adalah Korea Selatan, dengan skor 0.89. Amerika Serikat hanya 0.78, sementara China yang telah memiliki perusahaan yang membayangi dominasi Google, Facebook, dan Whatsapp, diberi skor 0,62.
Walau demikian, dalam hal pemanfaatan teknologi digital, Indonesia cukup cepat jika dibandingkan saat mengambil manfaat dari kapal uap di masa lalu. Ini karena penetrasi internet di Indonesia terjadi demikian cepat dan luas. Tahun 2016, diperkirakan 132,8 juta penduduk Indonesia terpapar Internet (APJII, 2016). Angka tersebut meningkat 66,7% dari tahun 2014. We Are Social (2017) bahkan menyebut peningkatan pengguna internet di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia.
Hal ini ditandai dengan kepemilikan telepon genggam di Indonesia yang terus meningkat. Pada 2016, diperkirakan sudah mencapai 84,8% dari total penduduk (Kominfo, 2016). Lebih jauh, 47% masyarakat Indonesia adalah pengguna smartphone (We Are Social, 2017).
Sepertinya, apa yang diramalkan Toffler (1980) sebagai gelombang ketiga dunia telah jauh merasuk ke dalam sendi bangsa Indonesia. Mengutip Steve Case, pendiri America Online, Rhenald Kasali (2017) menamai era saat ini sebagai era the internet of things. Bahkan lebih khusus dia menamai saat ini sebagai “peradaban uber”. Dirk Helbing (2015) menamainya dengan digital society: era disaat internet membentuk ekosistemnya sendiri dan perdagangan melalui dunia maya akan semakin intens.
Saat konsep bisnis jaringan (internet) seperti Go-Jek dan online marketplace tengah berkembang, makin terlihat guncangan (disrupsi) yang sedang berlangsung di ranah ekonomi tradisional kita. Walau diklaim “baru” mempengaruhi 1 persen dari total transaksi ritel, namun tudingan sudah diarahkan para “penguasa lama” terhadap konsep bisnis era digital yang sedang berkembang saat ini.
Terhubung sebagai konsumen
Jumlah penduduk usia muda (16-30 tahun) yang besar merupakan potensi besar bagi Indonesia. Diperkirakan, 1 dari 4 total penduduk Indonesia saat ini adalah pemuda. Sumber daya manusia yang demikian besar ini akan menjadi potensi penggerak ekonomi digital Indonesia apabila dikelola sedari awal. Potensi ini akan sia-sia jika pendekatan dan cara penanganannya masih menggunakan metode fixed mindset (Kasali, 2017).
Setidaknya 3 dari 4 orang usia 10-34 tahun di Indonesia adalah pengguna internet. Di tahun 2017 terjadi penambahan 27 juta atau 34% pengguna aktif media sosial dengan tambahan 45 juta pendaftar baru nomor telepon genggam. Jika dibandingkan dengan total penduduknya, 47% penduduk Indonesia saat ini sudah menggunakan internet.
Sedikit disayangkan, dominasi pengguna internet terbesar di Indonesia masih berada di wilayah Jawa (65%) dan Sumatera (15,7%) yang menandai masih belum meratanya infrastruktur digital (internet).
Saat ini rata-rata kecepatan internet di Indonesia (fixed connection) berada di 6,4 Mbps dengan peringkat biaya tertinggi ke-39 di dunia (USD $32,84 atau Rp 442.000) (Numbeo.com). Korea Selatan dengan tingkat kecepatan internet tertinggi di dunia (26.3 Mbps) hanya mengenakan biaya USD $23,73. Singapura, dengan kecepatan internet 18,2 Mbps mematok biaya USD $35,30. Sedangkan China yang sejumlah perusahaan digitalnya sudah menggerus dominasi Amerika Serikat, kecepatan rata-rata internetnya mencapai 5,7 Mbps dengan biaya USD $14,86.
Di banding Malaysia (7,5 Mbps, USD $40.50) dan Thailand (11,7 Mbps : USD $20,71) kondisi internet Indonesia masih cukup memprihatinkan. Beruntung kecepatan rata-rata akses internet melalui mobile devices kita masih jauh lebih tinggi dibanding negara lainnya (10,1 Mbps). Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menghadirkan ekosistem digital Indonesia yang kelak menjadi ladang karya bagi anak muda Indonesia.
Statista.com memprediksi pertumbuhan penetrasi internet dan telepon genggam di dunia akan terus naik hingga tahun 2021. Kenaikan penetrasi internet berkisar 3,7% per tahun dan penetrasi telepon genggam mencapai 5,7% per tahun. Inilah juga yang terjadi di Indonesia, dengan pertambahan penetrasi internet mencapai 51% dan pertumbuhan mobile-nya 14%. Dalam perkiraan, traffic data di Indonesia akan mencapai 6,5 Gb pada 2021. Meningkat lima kali lipat dari tahun 2015.
Berbicara perilaku, penggunaan internet untuk kepentingan bisnis berada pada posisi terendah (8,5%) – bahkan lebih rendah dari penggunaan internet untuk mengisi waktu luang (13,5%). Media sosial, hiburan dan informasi menjadi konten yang paling banyak diakses oleh publik (APJII, 2016). Dalam hal e-commerce, hampir seluruh pengguna internet (98,8%) mengetahui bahwa mereka dapat bertransaksi di internet. Sedikitnya 84 juta orang Indonesia diperkirakan pernah berbelanja di internet, khususnya toko online. Namun untuk hal pembayaran/transaksi keuangan, lebih dari setengah online shoppermelakukan pembayarannya melalui mekanisme tradisional (ATM, dan COD). Baru 12,3% yang percaya dan mau menggunakan sistem pembayaran advanceseperti e-money, kartu kredit, internet banking, atau sms banking.
Terkait hal tersebut, Network Readliness Index telah mengukur dampak sosial dan ekonomis dari keberadaan internet di sebuah negara. Dampak sosial dari era internet-digital di Indonesia jauh lebih tinggi ketimbang dampak ekonomis yang dihasilkannya. Indonesia masuk dalam peringkat ke-73 negara dalam hal dampak sosial era digital, sedangkan di bidang ekonomi masuk peringkat 85 dari 139 negara.
Bhaskar Chakravorti, Ajay BhallaRavi, dan Shankar Chaturvedi dari Harvard Business Review (2017), mengategorikan Indonesia ke dalam negara yang disebutnya break-out: negara yang skor digitalisasinya rendah namun tingkat evolusinya tinggi. Kondisi ini menurut mereka merupakan daya tarik tersendiri bagi investor. Bagi mereka, negara dalam kategori tersebut masih terbuka kemungkinan besar untuk memperkuat institusi yang menopang dan mengembangkan inovasinya.
Kondisi ini sebenarnya sudah dipahami pemerintah sebagaimana dipaparkan dalam Indikator TIK (Kominfo, 2016). Biaya layanan dan biaya perangkat yang masih tinggi disadari merupakan tantangan untuk mengoneksikan Indonesia dalam ekosistem digital berbiaya murah. Hal ini juga yang tergambar dari survei APJII (2016) di mana pengguna internet mendambakan sinyal yang kuat dengan harga yang semakin terjangkau.
Menyiapkan ladang dan SDM
Harvard Business Review menegaskan bahwa keberhasilan platform (ekonomi) digital sedikitnya bergantung pada 3 faktor: connection, gravity, dan flow.Semakin mudah terkoneksi sebuah bangsa dalam platform digital akan semakin berhasil mereka membangun bisnisnya di era peradaban uber. Faktor lainnya adalah gravitasi, memiliki daya tarik bagi investor dan konsumen. Selain itu adalah flow, atau yang disebut oleh Rhenald Kasali (2017) sebagaibusiness model (model bisnis).
Platform digital saat ini terus berkembang. Tidak hanya search engine seperti google, weibo, bing, atau application stores seperti google play dan app store, atau juga ride sharing seperti didi cuxing, uber, gojek, grab; atau marketplace seperti Alibaba, tokopedia, lazada dan lain-lain; sampai social media seperti youtube, twitter, instagram, dan whatsapp, saja. Perkembangan platform digital sudah memasuki babak digital media yang menyediakan konten-konten digital seperti Netflix, infrastructure sebagaimana dibangun oleh amazon web services atau model classified seperti yang dikembangkan e-bay.
Varian platform digital pasti akan terus berubah. Fakta terakhir menyebutkan, valuasi pasar Uber mencapai 68 miliar US dolar, didi cuxing 33,8 miliar US dolar. Keuntungan ride sharing sudah mengejar keuntungan produsen kendaraan roda empat seperti Volkswagon (74,3 miliar UD dolar) atau Toyota (147,3 miliar US dolar). Hal ini mengindikasikan bahwa platform dan business model di era digital begitu fleksibel dan cepat berinovasi.
John Chamber, pemimpin CISCO pernah berujar “setidaknya 40% bisnis didunia akan mati dalam 10 tahun ke depan, jika mereka tidak menemukan cara bagaimana mengubah perusahaannya untuk mengakomodasi perubahan teknologi baru.”
Disruption, di era digital yang berkembang cepat, memungkinkan perubahan terjadi begitu cepat, mengejutkan, dan memindahkan (Kasali, 2017). Karena itu dibutuhkan disruptive mindset, yang memungkinkan terciptanya ekosistem inovasi di level pemimpin, pemerintah, birokrasi, manajemen dan tentunya tindakan-tindakan disruptif.
Kita patut bersyukur bahwa pemerintahan Jokowi-JK juga menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan ekonomi digital. Hal ini yang bisa dilihat dari roadmap e-commerce 2017-2019 yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017. Mulai dari rencana dukungan pendanaan, perpajakan, kemudahan investasi, national payment gateway, program inkubasi bisnis pemula, logistik, kemanan digital dan integrasi usaha mikro, kecil dan menengah ke dalam sistem digital, sudah menjadi perhatian pemerintah. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informasi telah menargetkan pembangunan jaringan broadband berbasis fiber optic di 514 kota/kabupaten se-Indonesia akan selesai pada tahun 2019. Kita berharap dengan pemerintahan yang stabil rencana pembangunan ekonomi digital ini dapat terwujud segera.
Di sisi lain, ada tuntutan bagi kita untuk mempersiapkan dan mengubah fixed mindset menjadi growth mindset. Potensi ini ada di anak-anak muda Indonesia. Sistem pendidikan kita sudah terlalu lama berkutat pada mencari jawaban “what is” ketimbang melatih berpikir “how to”.
Kita tentu masih ingat bagaimana kaum muda berhasil survive dengan melahirkan kewirausahaan setelah resesi ekonomi 1998 yang membuat banyak perusahaan melakukan PHK. Namun gelombang wirausaha tersebut tampak belum mampu didorong menjadi besar mengikuti perubahan teknologi. Global Entrepreneurship Development Institute (GEDI, 2017) menempatkan posisi Indonesia pada posisi 94 dari 137 negara, sementara Malaysia sudah berada di peringkat 58.
Modal menghadapi tantangan ekonomi dunia digital adalah kreatifitas dan selalu siap terhadap perubahan. Inilah yang perlu ditanamkan dalam sistem pendidikan dan mentalitas kita. Meningkatkan keterampilan digital tentu sudah menjadi perkara wajib. Dalam landsape ekonomi digital dimana Apple, Facebook, Google sudah menjadi hiu putih dalam puncak rantai makanan, setidaknya kita harus mampu menciptakan piranha-piranha yang ganas dan agresif sebagai digital economy player masa depan. Apalagi kita sedang menyongsong era koneksi 5G yang makin mempercepat keterhubungan Indonesia.
Donny Imam Priambodo*
*Penulis adalah anggota Komisi XI DPR RI, Fraksi Partai NasDem