Berita

Peran Perempuan Zaman Kini

Menjelang peringatan Hari Pahlawan pada November lalu, Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada empat orang tokoh. Salah seorang di antaranya adalah Laksamana Malahayati, perempuan asal Aceh yang gigih melakukan perlawanan terhadap upaya monopoli dan penaklukan bangsa Eropa terhadap jalur perdagangan di Nusantara.

Sejarah menuliskan, Malahayati merupakan laksamana laut perempuan pertama di dunia. Dia panglima perang Kesultanan Aceh yang tesohor berkat keberanian dan kegigihannya melawan armada angkatan laut Belanda dan Portugis pada abad ke-16. Abad tersebut memang menjadi momen ekspedisi dan ekspansi markantilis bangsa Eropa dalam mencari rempah-rempah yang tengah bergairah di kawasan tersebut. Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda pertama yang tiba di Indonesia, menjadi salah seorang yang tahu betul rasanya digebuk pasukan Malahayati. Saat berupaya menggoyang Aceh pada 1599, pasukan Cornelis de Houtman justru porak poranda.

Malahayati juga sempat mengecap pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis. Di sana pula ia menjalin hubungan dengan perwira senior yang lantas menjadi suaminya. Sejarah kemudian mencatat sang suami gugur bersama ratusan prajurit dalam sebuah pertempuran hebat di laut. Berikutnya, Malahayati mengumpulkan para istri prajurit yang gugur dan memimpin mereka menjadi prajurit yang disebut Inong Bale atau prajurit para janda.

Jauh setelah keberanian dan kegigihan yang diperlihatkan oleh Malahayati dalam menolak dominasi dan monopoli bangsa Eropa, tepatnya saat zaman pergerakan nasional sedang tumbuh subur, persatuan melawan kolonialisme sedang galak-galaknya. Di kota kecil Padang Panjang, seorang perempuan berusia 23 tahun bernama Rahma El Yunisyah mendirikan sekolah khusus perempuan yang diberi nama Diniyah School Putri.

Diniyah School Putri, sekolah perempuan formal pertama di Indonesia itu memberikan materi pendidikan agama dan pelajaran umum, ditambah dengan pelatihan berupa keterampilan bagi perempuan, seperti menjahit, menyulam dan lainnya. Sekolah itu menjadi sesuatu yang sangat maju ketika itu, karena perempuan masih dianggap sebagai mahkluk subordinat dari laki-laki. Konsistensi Rahma El Yusyiah dalam mendidik kaum perempuan telah membuat Rektor Universitas Al-Azhar Abdurrahman Taj datang mengunjungi Diniyah Putri pada tahun 1955. Sang Rektor tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan Diniyah Putri dan menginspirasinya untuk mendirikan Kuliyyatul-Lil-Banat (kampus Al-Azhar khusus putri) di Universitas Al-Azhar. Rahmah El Yunisyah pun kemudian dinobatkan sebagai Syaikhah (guru besar wanita) pertama dari Universitas Al-Azhar.

Pendirian Diniyah Putri ini terwujud beberapa tahun sebelum terlaksananya Kongres Perempuan I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut dihadiri tidak kurang dari seribu orang dari sekitar tiga puluhan organisasi perempuan. Kongres tersebut mengukuhkan bahwa perempuan harus berpartispasi untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Hasil kongres tersebut juga memuat beberapa hal yang sangat mendasar.

Pertama, mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan. Kedua, pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu menikah. Ketiga, diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia. Keempat, memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan. Kelima, mendirikan suatu lembaga kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan anak. Kelima, mendirikan suatu badan yang menjadi wadah organisasi pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).

Peran dan pekerjaan mendesak

Pada catatan sejarah di atas, ada dua orang perempuan hebat dengan peran yang sangat berbeda. Peran yang tidak perlu saling menegasikan, karena secara natural perempuan memang penemu, pendidik, sekaligus pejuang yang tangguh.

Di zaman dengan persoalan yang semakin kompleks dewasa ini, penemuan dan inovasi di bidang teknologi semakin menjadi arus utama. Ini membuat peran perempuan semakin penting dalam kehidupan bermasyarakat, dalam proses pembangunan, dan terutama dalam membentuk karakter generasi setiap zaman. Hal ini dapat dirujuk secara etimologis, di mana perempuan berasal dari kata “empu” yang berarti “tuan”: orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar.

Ada beberapa peran penting yang bisa dimainkan oleh perempuan modern saat ini. Peran pertama, berjuang secara sejajar dengan laki-laki di bidang apapun. Artinya, tidak perlu ada dikotomi antara perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan sosial, karena perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat. Soal ini juga bukan hambatan untuk bisa menemu, mencipta, dan bekerja di bidang apapun. Di bidang politik umpamanya, undang-undang sudah menjamin kuota 30% perempuan dalam kepengurusan dan caleg dalam sebuah partai politik yang akan mengikuti pemilu. Saat ini, kita juga bisa dengan mudah melihat perempuan yang lantang bicara di parlemen.

Perempuan saat ini juga banyak yang menjadi kepala daerah. Posisi ini tentu berkorelasi signifikan dalam proses pembangunan dan upaya menyejahterakan warga. Perempuan juga banyak yang duduk di kabinet dan memiliki karakter sebagai pembawa perubahan. Ambil contoh Menteri Kehutanan yang telah berhasil menurunkan angka kebakaran hutan dan gambut dalam beberapa tahun belakangan. Prestasi dan kinerjanya telah membuat hutan dan kehidupan ekologis menjadi tidak terganggu atau berdampak buruk pada kehidupan bersama. Di luar itu, kita sudah banyak melihat kaum perempuan menjadi CEO di banyak perusahaan ternama dan berpengaruh.

Kedua, peran perempuan dalam pendidikan mental dan karakter. Derasnya arus informasi membuat kehidupan sosial kita ternyata tidak otomatis menjadi semakin cerdas dan dewasa. Sebaliknya, perkembangan teknologi informasi ternyata menyisakan persoalan lain. Pornografi, prostitusi online, penipuan, human traficking, hingga polarisasi sosial akibat sentimen-sentimen irasional, menguntit pesatnya teknologi informasi. Kehidupan sosial menjadi kaku dan tegang. Toleransi menjadi lemah karena menguatnya fanatisme sektoral dan sektarian yang membuat kita saling curiga satu sama lain akibat hoaks yang bertebaran secara masif. Media sosial pun akhirnya malah menjadi media anti-sosial.

Persoalan lain yang terus mendera kehidupan kita sebagai bangsa adalah maraknya korupsi di hampir semua level pengambil kebijakan. Upaya pemberatasan korupsi yang cenderung hanya menghambat di hilir, belum sepenuhnya menciptakan efek jera.

Semua masalah itu berpangkal pada mental, karakter, etos dan keterdidikan anak manusia. Dan itu semua berangkat dari kehidupan sosial paling dekat: keluarga. Keluarga adalah benteng pertahanan sebuah negara. Baik dan buruknya sebuah negara bersumber dari keluarga. Di titik ini kita harus jujur bahwa perempuanlah memiliki peran lebih. Dialah guru pertama yang mengenalkan kehidupan pada setiap anak manusia yang lahir ke dunia ini. Dialah teman paling dekat bagi anggota keluarga, terutama anak-anak. Inilah kiranya peran penting perempuan dalam milenial ketiga ini.

Menutup tulisan ini, saya ingin mengucapkan selamat Hari Ibu. Semua kita harus menyadari bahwa peran perempuan akan sama bahkan lebih besar dari laki-laki dalam membentuk karakter, mental bahkan mempertahankan kesatuan bangsa.

Share: