Berita

Perlu Ada Lembaga Penjamin Industri Keuangan Digital

JAKARTA (15 Januari): Perlu adanya lembaga yang bisa memberikan jaminan keamanan bagi konsumen sektor industri keuangan digital atau financial technology (fintech).

"Lembaga penjamin menjadi perlu untuk bisa masuk dalam sektor industri ini sehingga nantinya jika ada nasabah bermasalah, ada lembaga yang bisa menjamin," ujar anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Fauzi H Amro dalam rapat dengar pendapat umum Komisi XI DPR dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (14/1).

Sektor industri fintech mencatat pertumbuhan positif di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Hal itu menunjukkan teknologi informasi menjadi tumpuan di saat pembatasan sosial diberlakukan.

Sepanjang tahun 2020, fintech mencatatkan pertumbuhan sebesar 25%. Hingga akhir tahun, total pinjaman peer-to-peer (P2P) pada sektor tersebut mencapai nilai pendanaan sebesar Rp73 triliun.

Per November 2020, AFPI mencatat pertumbuhan sebenarnya masih lebih rendah jika dibandingkan tahun sebelumnya yang sempat menyentuh tiga digit.

Tercatat hingga periode tersebut, terdapat setidaknya 700 ribu transaksi dengan jumlah peminjam mencapai 40 juta orang. Meski dihantui kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pencairan pinjaman per bulan sempat turun menjadi Rp3 triliun jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai Rp7 trilun.

Menurut Fauzi Amro, aset pengelolaan per bulan kan luar biasa mencapai Rp7 triliun sehingga dalam setahun bisa Rp80 triliun.

"Fintech ini buat kalangan di luar perbankan kan dianggap sebagai barang baru.Untuk itu dari hulu hingga hilir harus dipersiapkan sehingga masyarakat tidak bingung membedakan fintech dengan pinjaman online,” kata Legislator NasDem tersebut.

Tidak adanya lembaga penjamin, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana terdapat pada bank konvensional, kata wakil rakyat dari dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I itu, ditengarai berpotensi menimbulkan banyaknya aduan dari sisi konsumen.

"Seandainya LPS tidak masuk ke situ, sementara AFPI hanya menjadi fasilitator, ketika nanti nasabah bermasalah, siapa yang akan bertanggung jawab? LPS-nya tidak ada. Di perbankan saja ada jaminan. Perlu skema mendetail dari hulu hingga hilir," kata Fauzi.

Belum disahkannya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), juga dinilai Fauzi, dapat membuat fintech semakin rentan. Meski sampai saat ini, payung hukum yang digunakan fintech adalah Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016, secara tegas aturan tersebut belum bisa membedakan sistem operasi antara fintech yang sudah memegang izin dengan fintech yang baru sebatas terdaftar di OJK.

“Mohon regulasinya diatur tidak hanya POJK dan Peraturan BI. Saran saya bisa ke LPS supaya ide baru dan barang baru ini ada manfaatnya bagi masyarakat dan membantu dalam kondisi pandemi," pungkasnya.(dpr.go.id/HH/*)

Share: