Berita

TP4D PERLUKAH?

Jakarta, Rabu 21Agustus 2019. Kurang dari dua bulan KPK melakukan dua kali OTT terhadap oknum Jaksa. Tanggal 28 Juni OTT dilakukan terhadap dua orang oknum jaksa di Kejati DKI Jakarta. OTT ini menyeret Aspidum Kejati DKI, dan turut ditahan KPK. Tanggal 19 Agustus kembali dua oknum jaksa di Kejari Yogyakarta dan Surakarta terkena OTT KPK. Hal ini menunjukkan ada masalah integritas di internal kejaksaan.

Orang boleh saja berdalih bahwa itu perbuatan segelintir oknum. Namun pepatah mengatakan, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Selain itu, karena kejadiannya beruntun, dan melibatkan seorang asisten di Kejati, maka tidak salah jika kemudian orang menduga, kemungkinan kejadian ini hanyalah puncak dari sebuah gunung es.

Tapi apapun juga, sebagai institusi penegak hukum, kejadian itu patut disesali. Sebagai penegak hukum, seharusnya kejaksaan menjadi garda terdepan dalam menjaga warwah hukum di negeri ini.

Kejadian di DIY terkait dengan proyek yang ditangani oleh TP4D (Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah). Tim yang konon dibentuk untuk mengawal pelaksanaan pembangunan agar tidak terjadi penyimpangan.

Dari awal, terutama dalam rapat-rapat di DPR saya sudah mempertanyakan esensi pembentukan lembaga ini. Pertama, urusan pemerintahan itu sudah dibagi habis. Memang tidak sepenuhnya mengacu pada teori pemisahan kekuasaan secara murni menurut trias politikanya Montesquieu.

Akan tetapi, kita memiliki tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif). Bersamaan dengan itu, fungsi pemerintahan sudah dibagi habis berdasarkan asas accordion. Fungsi pencegahan dilaksanakan secara internal oleh aparat pengawasan internal pemerintah (APIP). Namanya inspektorat. Ada juga BPKP. Yang ekternal dilakukan oleh BPK.

Sementara Kejaksaan dan Polisi itu fungsinya penegakan hukum. Jika aparat pengawasan menemukan terjadi penyimpangan, maka dengan mekanisme tertentu, penegak hukum lalu bertindak. Fungsi pencegahan seharusnya tidak boleh melibatkan lembaga penegak hukum.

Jika toh mau melibatkan, cukup dalam bentuk preemtif dan preventif berupa penyuluhan. Karena ketika dicampur aduk, akan terjadi kekacauan fungsi. Ibarat makanan, kolak yang dicampur soto akan menghasilkan rasa yang kacau balau.

Menempatkan penegak hukum pada fungsi pencegahan, ibarat menempatkan polisi lalu lintas duduk di samping sopir agar sopir tidak melanggar. Berbagai kemungkinan bisa terjadi. Si sopir bisa berkolusi dengan si polisi lalu lintas untuk melanggar. Atau jika si sopir, sengaja atau tidak sengaja melakukan pelanggaran, maka polisi lalu lintas yang duduk di samping si sopir, mau tidak mau harus ikut bertanggung jawab.

Kedua, setiap pembentukan lembaga, perlu biaya. Informasi yang saya dapatkan, tidak ada biaya buat TP4D. Dan itu memang tidak boleh. Karena asas dan aturan melarang instansi vertikal dibiayai dengan APBD. Maka dilakukan "akal-akalan". Namanya "pengkondisian". Ini sama saja mencegah pelanggaran dengan cara melanggar. Seharusnya gunakan semboyan Pegadaian. Menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Ketiga, pembentukan TP4D mengindikasikan pemerintah tidak percaya pada aparat pengawasan internalnya. Jika memang benar, ya buat agar aparat internal bisa lebih efektif. Atau ekstrimnya, bubarkan saja seluruh aparat internal. Serahkan seluruh fungsi pencegahan kepada penegak hukum. Biar lebih sempurna kekacauan fungsi itu.

 Namun demikian, saya berharap pemerintah segera melakukan upaya yang sungguh-sungguh memperbaiki tata kelola pemerintahan (good governance). Langkah pertamanya, hentikan campur aduk fungsi pemerintahan. Harapannya agar tercipta clean goverment. Dengan demikian, keberadaan TP4D harus diakhiri. []

Share: