Berita

Keluar dari Masalah Asap

Kira-kira bulan September 2015, media sosial diramaikan oleh tagar #TerimaKasihIndonesia yang dicuitkan oleh warganet dari Malaysia dan Singapura. Tagar tersebut sebenarnya bentuk sindiran terhadap Indonesia lantaran kerap tak mampu menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera. Jamak diketahui, imbas dari kebakaran tersebut membuat warga dua negara tetangga itu terganggu dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari.

Kala itu, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi memang luar biasa masifnya. Indonesia sampai-sampai mendapat sorotan dari dunia internasional. Di tengah gencarnya pembicaraan dunia tentang pelestarian lingkungan, Indonesia malah dinilai tidak mampu mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Indonesia bahkan disebut sebagai salah satu kontributor CO2 terbesar di dunia.

Di dalam negeri sendiri, kebakaran hutan dan lahan gambut berdampak besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Banyak warga terjangkit penyakit gangguan sistem pernapasan. Aktivitas warga juga banyak terganggu, mulai dari proses belajar mengajar, hingga aktivitas penerbangan dan bandara.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan mencatat, kerugian yang harus ditanggung pemerintah Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 mencapai Rp 16,1 triliun. Angka ini belum ditambah kerusakan lingkungan akibat kebakaran yang terjadi.

Upaya penanggulangan

Pada awal tahun 2016, Presiden Joko Widodo meminta seluruh pihak terkait untuk melakukan upaya pencegahan dan kesiap-siagaan secara dini. Penerapan early warning system, sosialisasi maklumat yang dikeluarkan oleh Polri kepada masyarakat untuk memberikan kesadaran dan pemahaman, serta melakukan patroli secara ketat, diterapkan.

Masih pada tahun yang sama, BNPB menyiapkan 26 helikopter untuk water bombing di Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, BNPB juga mengerahkan tiga pesawat untuk melakukan hujan buatan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menanggulangi dan mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan (karlahut)

Tidak ketinggalan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) pun membentuk Posko Krisis Bencana Kebakaran Lahan/Hutan untuk menjadi tempat rujukan, pengaduan, sekaligus juga berfungsi sebagai sumber  informasi. Dari Posko Krisis Bencana Kebakaran Lahan/Hutan ini dihasilkan data-data terkait karlahut yang direkap dari informasi yang diperoleh dari berbagai unsur yang berwenang di daerah maupun di pusat.

Selain itu, penegakan hukum juga menjadi salah satu cara penanganan karlahut. Penegakan hukum ini tidak hanya menyasar pelaku perorangan, namun juga perusahaan/korporasi. Upaya penegakan hukum ini dilaksanakan dengan kerjasama yang erat antara Polisi dan PPNS Kementerian LHK.

Kasus-kasus hukum kebakaran hutan yang ditangani oleh PPNS KLHK meliputi tiga sisi hukum, yakni sanksi administratif, sanksi pidana, dan sanksi perdata. Seiring dengan upaya penerapan sanksi administratif dan pidana, upaya perdata secara konsisten juga dilakukan.

Salah satu contoh ketegasan penegakan hukum dari Kementerian LHK pada korporasi penyebab karlahut yang paling baru adalah gugatan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar terhadap PT. Ricky Kurniawan Kertapersada (PT.RKK) atas kejadian karlahut yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan tersebut. PT.RKK dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti rugi materiil dan biaya pemulihan ekologis sebesar Rp 191.804.261.700.

Menurunnya titik api dan luas kebakaran

Upaya-upaya di atas ternyata membuahkan hasil. Pada tahun 2017, beberapa negara seperti Amerika, Australia, Jepang, dan Indonesia sendiri melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan prakiraan cuaca. Dari prakiraan cuaca itu disimpulkan bahwa Indonesia akan mengalami musim kemarau hingga Oktober atau November 2017.

Hal tersebut kemudian menjadi peringatan kepada pihak terkait untuk mewaspadai kemarau bulan Juni hingga September 2017, mengingat karlahut kerap terjadi pada musim kemarau panjang. Kita patut bersyukur, peristiwa pahit pada tahun 2015 lalu tidak terulang, dan hal ini merupakan buah dari kerja keras pemerintah dalam mencegah karlahut.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, yaitu dari tahun 2015 hingga 2017, jumlah titik api atau hotspot berikut luas  kebakaran lahan dan hutan di Indonesia tercatat menurun. Tingkat penurunan hotspot maupun luas kebakaran saat ini sudah sampai pada level di atas 80 persen jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2015, jumlah titik api tercatat sebanyak 70.971. Jumlah ini kemudian berkurang jauh pada tahun 2016, yakni hanya sebanyak 3.844 titik api. Sedangkan luas area kebakaran hutan mengalami penurunan dari 2,6 juta hektar pada tahun 2015, menjadi 438.363 hektar pada tahun 2016.

Pada tahun tahun 2017, berdasarkan data terakhir, jumlah titik api kembali menurun menjadi 2.370 titik. Sedangkan total luas area kebakaran hutan kembali turun menjadi 125.000 hektar atau sekitar 15 persen dari tahun 2016.

Kita tentu patut mengapresiasi keberhasilan Kementerian LHK dan berbagai pihak dalam mengendalikan titik api dan kebakaran hutan dan lahan. Hasilnya bisa kita lihat sekarang, hingga bulan Desember tahun 2017 ini, nyaris tidak ada lagi terdengar berita tentang kebakaran hutan dan lahan.

Kerja sama berbagai pihak

Kebakaran lahan dan hutan telah menimbulkan dampak yang besar dari segi lingkungan, pendidikan, politik, ekonomi, kesehatan, hubungan antar negara dan citra Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, hal ini harus menjadi perhatian serius berbagai pihak.

Upaya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran lahan dan hutan di Indonesia semestinyanya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian LHK dan BNPB, tapi juga harus mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan perusahaan swasta.

Pemerintah dalam hal ini Kemenko Perekonomian, Kementerian LHK, dan Bappenas telah menyusun grand design untuk mencegah karlahut. Hal ini tentu patut kita apresiasi, mengingat ruang lingkup grand design ini difokuskan pada kegiatan dan pemantauan yang akan dilaksanakan oleh multipihak, baik dari pemerintah maupun swasta, pada kurun waktu 2017 – 2019.

Kita tentu berharap, prinsip permanen, lintas sektor, terpadu, komprehensif, cepat, responsif dan tepat sasaran yang terkandung dalam arah kebijakan dan strategi pencegahan kejadian karlahut, benar-benar dapat dilaksanakan. Selain itu, penjabaran ke dalam strategi penyediaan insentif dan disinsentif, penanganan pranata sosial, penegakan hukum dan sinkronisasi peraturan perundangan, serta penguatan fire early response bisa diimplementasikan.

Menurunnya titik api dan luas  kebakaran lahan dan hutan pada tahun 2017 tidak boleh membuat kita terlena. Tantangan ke depan adalah memberikan penyadaran kepada warga masyarakat agar mau bekerja bersama-sama mengoptimalkan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Sebab bicara masalah kebakaran hutan dan lahan, bukan hanya kerugian material yang terjadi akan tetapi juga kerugian sosial. Oleh sebab itu, keluar dari kepungan asap adalah pekerjaan bersama bagi kita semua, bangsa Indonesia.


Oleh Hamdhani*

*Penulis adalah anggota Komisi IV DPR RI, Fraksi Partai Nasdem

Share: